Oleh : Raka Virgia
Raspati
Siang
itu matahari masih mengintip malu-malu di balik arakan awan kelabu. Sepertinya
hujan hendak menyapa. Kuarahkan motor bebek tahun 2007 ke perpustakaan daerah.
Niat awalku hendak mencari beberapa buku referensi tugas, namun begitu sampai
di tempat parkir, rintik hujan menyerang tiba-tiba dengan lebat. Buru-buru aku
melompat ke korior perpustakaan yang kini sudah beratap.
Sambil
berteduh, lamat-lamat kuperhatikan koridor ini dari ujung ke ujung. Atapnya
berbentuk setengah lingkaran bak lengkungan pelangi. Keramik lantai disusun
sedemikian rupa, sehingga pola nya terlihat jelas. Keramik yang digunakan tidak
bermotif, hanya jenis keramik kotak kasar yang biasanya dipakai untuk wc atau
kamar mandi namun pemasangan keramik jenis ini memiliki fungsi agar tidak
licin. Lantainya dibuat pola 3-2-3.
Tiga
keramik warna merah di sisi kiri, dua keramik tengah dengan warna berbeda yaitu
warna kream, dan tiga keramik sisi kanan dengan warna senada yang ada di sisi
kiri. Uniknya, pada keramik bagian tengah terdapat nat keramik yaitu celah
antar keramik yang diisi dengan semen khusus guna menghindari rembesan air yang
dapat merusak keramik. Nat keramik di koridor ini dibuat sedemikian rupa supaya
menambah kesan estetika. Pada sisi koridor di tanam pula beberapa rumput dan
bunga hias.
Hujan
yang semakin turun deras membuat beberapa orang menunggu di koridor ini, sama
sepertiku. Beberapa orang hanya menatap hujan, sambil berharap rintikan air ini
segera berhenti agar mereka bisa melanjutkan aktivitas. Beberapa yang lain sibuk
dengan kegiatan masing-masing; ada yang mengutak-atik handphone, membaca buku
yang mungkin baru dipinjam, dan yang paling unik adalah sekumpulan wanita
sebaya yang jaraknya denganku 10
meter, mereka sejak tadi sibuk berganti pose sana-kemari.
Lucu
dan sedikit geli, mereka rupanya sibuk berfoto-foto di koridor ini. Semakin
lama kuperhatikan, ternyata aku mengenal salah satu dari mereka. Nori, adik
kelasku dulu di SMA. Bermaksud menyapa, akhirnya kuhampiri ia. Beberapa
perbincangan terjadi dan sedikit penasaran aku bertanya “Kenapa foto-foto di
koridor?”, dengan gamblang ia hanya menjawab “Bagus, Kak. Apalagi kalau hujan
gini, airnya bisa kelihatan, jadi fotonya cantik”. Aku hanya meringis sebentar.
Tak lama, kutinggalkan Nori dan kawan-kawannya karena hujan mulai mereda dan
kuputuskan untuk menerjang beberapa meter sampai di pintu masuk perpustakaan.
Dua
hari kemudian, ketika aku kembali lagi ke perpustakaan daerah hendak
mengembalikan buku yang kupinjam, di koridor aku bertemu dengan Alamsyah, adik
kelasku juga yang hobinya memotret. Dengan kamera digitalnya, dia tengah memotret koridor ini.
Sedikit penasaran, perbincanganku menyerempet tentang alasannya memotret
koridor ini. “Eksteriornya nyeni banget, Kak. Kalau untuk project foto
tempat-tempat gitu, termasuk bagus koridor ini”. Sambil meringis, kutinggalkan
ia sendiri dengan dunia fotografinya.
Selesai
mengembalikan buku, aku langsung pulang, namun begitu melewati koridor lagi,
aku shock bukan main. Nyaris sepanjang koridor ini banyak anak abg foto dan selfie
sana-sini, bahkan aku harus berkata “permisi” beberapa kali ketika berjalan
melewati mereka. Rasa penasaranku mencuat, jika sekedar tempat yang bagus,
mungkin banyak tempat-tempat lain yang masih lebih bagus daripada hanya sekedar
koridor perpustakaan.
Akhirnya,
aku bertanya pada satpam di gerbang tentang koridor yang banyak dijadikan
tempat foto dan selfie. “Setiap hari selalu ada kalau yang foto-foto sama
selfie. Kebanyakan memang bilang bagus. Kadang sih ada anak-anak SMP yang
mampir cuma foto-foto di koridor aja, tapi nggak masuk ke perpustakannya.”
Menurutnya, koridor itu memang sengaja dibuat dengan desain yang kekinian
seperti tempat-tempat yang instagramable, fungsinya untuk menarik minat anak
muda agar mampir ke perpustakaan. “Ya walaupun awalnya cuma mampir buat
foto-foto aja di koridor, sesekali pasti ada yang masuk, baca buku juga,” tutur
Satpam setempat.