Oleh
: Raka Virgia Raspati
Pagi
itu entah apa yang beliau rasakan, saat harus berjuang mempertaruhkan nyawanya
demi nyawa saya. Di kampung Maja Tengah, Pandeglang, tepat hari Selasa tanggal
10 September 1996 pukul 06:32 pagi. Ya, sekitar 21 tahun yang lalu, kebahagiaan
mungkin terpancar dari wajah Mamah dan Papah begitu melihat saya lahir dalam
kondisi normal dan sehat, dengan berat 2,8kg dan panjang 49cm. Terlahir sebagai
anak pertama, saya diberi nama lengkap Raka Virgia Raspati yang kata orang tua
saya memiliki makna ‘Kakak Lelaki berbintang virgo yang gagah’.
Masa
kecil saya habiskan di Kampung Maja Tengah, Kampung kelahiran saya karena saat
itu kami masih menumpang tinggal di rumah salah satu kerabat Papah. Oleh warga
sekitar kampung, saya dikenal sebagai Raka Botak, karena sejak saya lahir
hingga berusia 4 tahun, saya tidak memiliki rambut. Beragam usaha telah
dilakukan orang tua saya agar rambut anaknya ini tumbuh. “Ya banyak macam-macam
obat rambut dipakai, dari mulai kemiri bakar yang khasiatnya bisa melebatkan
rambut sampai tahi udang pernah dicoba juga,” kata Mamah. Namun memasuki usia 5
tahunan, sedikit demi sedikit rambut saya tumbuh meski tidak langsung lebat dan
banyak.
Saat
usia 2 tahunan, saya sering ikut-ikutan sepupu ke sekolah TK. Membawa tas
gendong lalu masuk kelas, padahal saat itu saya belum menjadi murik TK.
“Hahaha, iya waktu masih botak dulu, masih kecil banget, Raka suka ikut saya
sekolah TK, padahal belum daftar jadi murid TK, dia cuma ikut-ikutan pengen
sekolah karena semua saudara sepupunya udah pada sekolah,” ujar Putri sepupu
saya. Hampir satu tahun saya menjadi murid gelap. Memasuki usia saya yang ke-3
tahun, akhirnya orang tua saya mendaftarkan saya ke TK Putera 4 Pandeglang dan saya
resmi menjadi murid disana.
Setelah
lulus TK, saya dan kedua orang tua pindah ke Serang, tepatnya di daerah
Karundang. Kami sekeluarga mengontrak rumah. Kondisi rumah yang kami tinggali
saat itu masih begitu minim fasilitas. Atap sering bocor dan tidak memiliki wc
sendiri. Alhasil, tiap kali hendak buang air besar harus numpang ke tetangga
atau turun ke sungai.
Saya
juga saat itu disekolahkan oleh orang tua saya di SDN Sempu 1. Setiap hari saya
pergi pulang naik angkot sendiri. Yang dikhawatirkan saat naik angkot berangkat
ke sekolah yaitu khawatir kalau angkot yang saya tumpangi belok ke terminal
Cipocok. Karena jika sudah begitu, saya harus turun lebih dulu, jalan kaki
sebentar dan menyebrang. Saat itu saya belum bisa menyebrang jalan raya
sendirian. Saya sering menunggu Uwa saya menjemput saya di seberang dan
menuntun saya untuk menyebrang jalan. Kebetulan, rumah Uwa saya berdekatan
dengan SDN Sempu 1. “Raka dulu mah nggak berani nyebrang jalan raya, harus
dituntun waktu masih SD. Kadang nunggu di seberang jalan, kalau uwa nya lihat,
dijemput, dituntun,” ujar Uwa Titin. Sebenarnya masa-masa itu jika diingat
kembali, sedikit menggelitik hati saya.
Naik
kelas 2 SD, orang tua saya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan lagi. Kami
pindah rumah di daerah Sempu. Rumah yang saya tinggali saat itu milik saudara
jauh. Meskipun kondisinya sudah lebih baik dibanding rumah sebelumnya, tetap
saja saat itu sumur dan airnya masih kotor. Terkadang jika sangat kotor, kami
harus meminta air dari tetangga. Setelah rumah saya pindah ke Sempu, saya
berangkat sekolah naik sepeda karena jaraknya jadi lebih dekat dibanding rumah
sebelumnya. Saya juga menjalani hari seperti kebanyakan anak-anak lain. Sekolah
pagi kemudian dilanjut dengan sekolah madrasah di sore hari, setelah itu
menghabiskan waktu bermain dengan teman-teman sepermainan.
Di
usia saya yang ke-10 tahun, tepatnya kelas 5 SD, lahirlah kembaran saya.
Seorang adik lelaki yang telat lahir, karena saya sudah lama ingin memiliki
adik namun baru diberikan pada saat berusia 10 tahun. Adik saya lahir normal
dan diberi nama Rayi Sagara Raspati, memiliki makna yang tidak berbeda jauh
dengan saya yaitu ‘Adik lelaki yang
memiliki pemikiran seluas lautan yang gagah’. Tidak
lama setelah Rayi lahir, Mamah pun memutuskan untuk bekerja sebagai PNS di
Dinas Sosial Cilegon.
Saya
lulus dari SDN Sempu 1 dengan predikat biasa saja, kemudian masuk ke SMPN 15
Serang, SMP yang saat itu terkenal sebagai sekolah wanita, karena memang
sejarahnya dulu sekolah tersebut khusus wanita. Naik kelas 8, alhamdulillah
orang tua saya memiliki rumah sendiri. Kami pindah rumah lagi, walaupun
pindahnya tidak jauh, hanya sebelah rumah kontrakan sebelumnya, persis di
sebelahnya. Jadi kami pindahan hanya menggotong-gotong barang saja.
Tahun
2011, saya lulus dari SMPN 15 Serang, dan berniat melanjutkan sekolah ke SMA
Negeri. Namun, saat itu salah satu teman saya menghasut saya untuk masuk ke
SMKN 1 Kota Serang dan mengambil jurusan TKJ (Teknik Komputer Jaringan), karena
katanya jika saya masuk jurusanTKJ, saya bisa jadi Hacker. Mengingat saat itu
saya senang sekali dengan dunia komputer, akhirnya saya terhasut. Saya
mengambil jurusan TKJ di SMKN 1 Kota Serang dan saya lolos tes. Sementara teman
saya yang menghasut tadi, malah gagal masuk SMKN 1 Kota Serang.
Selama
di SMKN 1 Kota Serang, pencarian jati diri saya dimulai. Saya belajar banyak
hal. Hingga perlahan-lahan, mindset saya tentang lingkungan sekitar terbentuk.
Lulus
dari SMKN 1 Kota Serang, saya disuruh oleh orang tua melanjutkan S1. Saat itu
saya memilih beberapa jurusan di Universitas ternama, namun gagal. Akhirnya
karena orang tua saya tetap memaksakan saya kuliah, saya mengambil jurusan D3
Marketing di Untirta. Namun selang satu tahun, saya mencoba kembali SBMPTN, dan
saya lolos sebagai Mahasiswa Baru FISIP Program Studi Ilmu Komunikasi. Saat ini
saya sudah memasuki semester 5 mengambil konsentrasi Jurnalistik.