Banten,
sekitar 500 tahun lalu, pernah menjadi bandar terbesar di pulau Jawa. Bangsa
Portugis datang jauh-jauh dari negeri seberang ke Karangantu, pelabuhan Banten.
Pelabuhan ini
pernah tercatat menjadi bagian Jalur Sutra. Gubernur Belanda Jan Pieterzoon
Coen mengungkapkan dalam Mengenal Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Kota Banten Lama oleh Uka Tjandrasasmita, Hasan M Ambary, dan Hawany
Michrob ketika membahas catatan soal enam perahu China yang membawa barang
senilai 300.000 real di Karangantu.
Masih di buku
yang sama, Tom Pires, pakar obat-obatan dari Portugal yang berkelana di Asia
Tenggara, menjatuhkan jangkarnya ke Banten pada tahun 1513. Pires menyebut,
Karangantu merupakan pelabuhan kedua di Kerajaan Sunda, setelah pelabuhan besar
Sunda Kelapa di Jayakarta.
Tapi
kini tak ada lagi jejak peninggalan yang bisa dilihat langsung, pelabuhan
Karangantu benar-benar berubah jadi perkampungan nelayan kumuh. Sampah
berserakan di jalan-jalan yang rusak.
Kini
banyak sekali masyarakat yang menggantungkan hidupnya menjadi seorang nelayan,
atau hanya sekedar berjualan makanan ringan disekitar pelabuhan ,dimana
perolehan ikan dan hasil menjual makanan ringan tidak menentu.
“Kini
kami menggantungkan hidup kami kepada alam, jika mereka menghendaki, maka kami
akan mendapat ikan yang lumayan, jika tidak kami hanya bisa bersyukur kepada
tuhan YME, atas semua yang telah ia berikan” ungkap kasim, seorang nelayan yang
lahir dan besar di kawasan Karangantu.
Tidak
sampai disitu, banyak sekali masyarakat yang merasa sangat kesulitan
mendapatkan air, mereka harus menyiapkan biaya
sebesar Rp80.000 per bulan untuk mendapatkan air bersih per bulannya.
Selain menangkap ikan dan menjualnya, pelabuhan Karangantu
juga dijadikan tempat untuk pergi ke pulau-pulau yang ada disekitaran wilayah
Banten
“Saya memiliki kapal bersama teman-teman saya, dan kami
gunakan untuk mencari ikan, dan kadang jika ada orang ingin pergi ke pulau
seberang kami bisa mengatarnya, sembari kami mencari uang tambahan” sebut hilal
yang berprofesi sebagai nelaian dan tour
guide di Karangantu.
Tidak hanya pelabuhan Karangantu yang menjadi tempat
bersejarah yang ada di sekitaran wilayah Banten lama, disini adanya vihara yang
di sudah dibangun sejak abad 16. Yaitu
Vihara Avelokitesvara.
Sejarah pembangunan berkaitan dengan
Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Tokoh
penyebar islam di tanah Jawa ini memiliki istri yang masih keturunan kaisar
Tiongkok bernama Putri Ong Tien.
Melihat banyak pengikut putri yang masih
memegang teguh keyakinannya, Sunan Gunung Jati membangun vihara pada tahun 1542
di wilayah Banten, tepatnya di Desa Dermayon dekat dengan Masjid Agung Banten.
Namun, pada tahun 1774 vihara dipindahkan ke Kawasan Pamarican hingga sekarang.
Masyarakat yang tinggal didaerah
sekitaran Vihara memiliki keyakinan budha, islam dan tionghoa, mereka hidup
rukun dan saling menghormati satu sama lain. Kini vihara tidak hanya dikunjungi
oleh umat beragama hanya untuk sekedar beribadah, melaikan banyak sekali
wisatawan dari berbagai wlayah yang ingin melihat kemegahan vihara tersebut.
Tentu saja itu membuat warga sekitar
vihara sangat senang karena banyak pengunjung dan mungkin mkereka akan singgah
ke warung yang berada disekitar wilayah vihara.meskipun begitu masih banyak
warga yang hidup sederhana walaupun mereka tinggal di lokasi wisata.
Mereka mengungkapkan bahwa pengunjung
yang datang ke warung mereka pasang- surut dan kadang hasil dari pendapatan
sehari belum mampu mencukupi kebutuhan harian mereka.
“Disini kami hanya berjualan makanan dan
minuman, tapi hanya hari libur dan hari besar saja vihara ini ramai banyak
pengunjung, dari situlah pundi-pundi uang datang, walaupun kami berada di dekat
daerah wisata kami tidak terlalu merasakan keuntungan yang signifikan” ungkap
umiroh seorang penjual makanan yang telah tinggal di wilayah vihara selama
lebih dari 35 tahun.
Memang
mayoritas masyarakat yang tinggal di daerah sekitar vihara memiliki pekerjaan
sebagai penjual makanan, tapi banyak dari mereka yang memutuskan untuk pindah
dikarenakan ingin mencoba peruntungan baru yang lebih baik di luar sana.
Selain
wisata agama tionghoa, daerah wisata Banten lama ini memiliki wisata religi
agama islam. Masjid ini dibangun oleh Sultan Maulana Hasanuddin, putera Sunan
Gunung Jati, sekitar tahun 1570 M. Masjid ini memiliki halaman yang luas dengan
taman yang dihiasi bunga-bunga flamboyan.
Pada
hari-hari tertentu, misalnya Maulid Nabi Muhammad SAW, masjid ini dipenuhi oleh
ribuan peziarah dari berbagai daerah, seperti daerah Banten, Jakarta, Bekasi,
Bogor, Purwakarta, Sukabumi, hingga Bandar Lampung.
“Kami
sangat bersyukur ketika mulai memasuki libur panjang, dan libur akhir pekan
karena banyak sekali wisatawan lokal yang membeli jualan kami, mulai dari dodol,
hingga batik khas banten” kata Rajab Mahodra yang sudah berjualan di kawasan
banten lama selama 10 tahun.
Meskipun penghasilan
tidak menentu, masih banyak masyarakat di kawasan wisata Banten Lama tetap
memilih menjadi seorang penjual dan nelayan