Serang- Seperti dilansir oleh Kominfo, Indonesia menempati
peringkat ke-6 terbesar didunia setelah Jepang dalam hal pengguna internet.
Menurut lembaga riset pasar e-marketer,
populasi netter tanah air mencapai
102,8 juta orang pada 2016. Dan diperkirakan akan menduduki peringkat ke-5 di
tahun 2017 mengalahkan Jepang yang pertumbuhan pengguna internetnya lebih
lamban. Lalu apakah predikat itu menjadi tolak ukur kerentanan suatu negara
terhadap hoax ?
Seperti yang diungkapkan
dosen Ilmu komunikasi, Dr.Nina Yuliana M.Si, “yang membuat rentan suatu negara
terhadap hoax bukanlah jumlah
pengguna internet, melainkan tentang kekuatan masyarakat Indonesia, tentang
penguasaan terhadap isu-isu, pendidikan, cara berfikir dan tentang kesiapan
masyarakat terhadap internet.” Tuturnya pada Rabu (13/8) sore.
Jadi walau Indonesia
mendapat peringkat pertama sekalipun dalam hal pengguna internet, “hal itu
tidak berpengaruh selama masyarakatnya kritis”. Lanjut dosen Ikom ketika
diwawancarai. Hoax dianggap kabar
burung saja jika isunya dianggap tidak penting, tapi akan menjadi berbahaya
jika kabar tersebut mengandung unsur sensitif dan sara. “hoax menjadi mengkhawatirkan jika sudah mengenai isu-isu besar, dan
membuat orang melakukan perilaku-perilaku massal yang menyimpang, destruktif, dendam,
maupun lainnya” ujarnya.
Di Indonesia sendiri
sudah ada UU yang mengatur tentang hukuman dan kebijakan berkaitan dengan
berita bohong (hoax). Walaupun
demikian, hoax yang menyebar di media
sosial tidak dapat dihentikan. “Menyebarnya
hoax di media sosial bukanlah karena
kurangnya kebijakan pemerintah atau apa, melainkan karena media sosial bersifat
viral”, lanjutnya lagi.
Ini dapat diartikan bahwa
hukum dan pemerintah sudah berjalan sebagaimana mestinya. Dalam satu detik,
berita yang ada di media sosial dapat menyebar ke berbagai penghujung dunia,
bahkan ke berbagai segmentasi masyarakat. Jadi menyebarnya hoax bukan karena UU
atau kebijakan pemerintah yang kurang, “akan tetapi karena kebijakan itu tidak
berbicara, kebijakan itu mati”. Maksudnya seperti dalam kebijakan ditulis masuk
jam 9, terkadang seseorang masuk jam 10 dengan alasan tertentu.
Perlu anda ketahui dalam
berita hoax sendiri dikelompokkan
menjadi dua, yaitu hoax ringan yang
artinya tidak mempunyai dampak yang sosial
yang besar dan kita menganggapnya angin lalu, tapi ada juga hoax yang berat (mengkhawatirkan), yaitu
seperti kasus bayi debora, dan rohingya, yang jika beritanya di besar-besarkan maka
akan menghasilkan dampak sosial yang besar.
Diantara kabar hoax, yang mempunyai dampak besarlah
yang harus dilaporkan kepada pihak yang berwenang. “karena tidak semua kabar hoax dapat dikenakan pasal-pasal. Jadi
kita harus kritis, bisa memilah mana yang harus dan tidak harus dilaporkan”, tambahnya.
Menurut salah satu
mahasiswa Hukum Untirta, Asep Saepudin,”sebelum mempercayai suatu berita, kita
harus mencari keabsahan berita tersebut, untuk menjadi pembanding apakah berita
tersebut benar atau tidak”, katanya. Jadi lebih pandailah memilah setiap
informasi (berita) yang anda terima.
Dalam mengatasi hoax
kebijakan saja tidak cukup, Indonesia harus meningkatkan kualitas sumber daya
manusianya. Bagaimana manusianya diisi dengan pendidikan agar mereka kritis,
bisa menyaring mana berita yang benar dan kabar hoax belaka.
(oleh: Dipa Dzulfikar)