(Longmarch dilakukan oleh warga Baros-Cadasari sebagai bentuk penolakan PT. Tirta Freshindo Jaya yang melakukan privatisasi air.)
Pandeglang (17/4) - Mendengar kasus privatisasi air rasanya sudah tidak asing lagi, seperti kasus yang satu ini; kasus privatisasi air yang dilakukan oleh PT. Tirta Freshindo Jaya (TFJ) yang termasuk dalam salah satu bagian dari PT. Mayora Grup. Kasus ini mulai berlangsung sejak akhir tahun 2013 lalu, PT. TFJ mulai melakukan alih fungsi sawah menjadi lahan peruntukan lain dan melakukan pengeboran-pengeboran pada sumber mata air bawah tanah yang berada dilokasi Cadasari-Baros (Pandeglang, Banten). Hingga kini, sebanyak 8 sumber mata air Cadasari-Baros sudah habis terkuras oleh PT. TFJ, dimana 4 sumber mata air berlokasi di Cadasari yaitu mata air Cinangka, Ciwarasta, Kadu Bedul dan Kadu Buut, sisanya berlokasi di Suka Indah Kec. Baros yaitu mata air Cilarangan, Cilisungbunian, Cikondang dan Cikopo. Akibatnya sebanyak 110Ha lahan pertanian warga menjadi kekeringan, terlebih lagi jika musim kemarau sudah datang, karena perlu diketahui bahwa daya sedot dari masing-masing mesin pengeboran tersebut berukuran 45kubik/jam.
Berdasarkan hasil penelitian LIPI, lahan yang diambil alih fungsinya oleh PT. TFJ ini merupakan sawah produktif, dimana air yang diambil oleh PT. TFJ berfungsi untuk mengaliri aliran sawah dan dipergunakan sebagai kepentingan rumah tangga (mandi, cuci, minum; dsb). Adapun kearifan lokal yang dimiliki wilayah Cadasari-Baros merupakan kawasan pendidikan Pondok Pesantren yang banyak menghasilkan santri hingga ulama.
Jika di telaah lebih dalam, pada surat edaran Menteri ESDM Nomor 01E/40/MEM/2015 tanggal 17 April 2015 tentang Penyelenggaran Pelayanan Di Bidang Air Tanah setelah putusan MK Nomor 85/TUU/XI/2013 yang menyatakan bahwa daerah Cadasari Kabupaten Pandeglang termasuk dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Serang-Tangerang dan kewenangan pemberian rekomendasi teknis untuk perijinan pengusahaan air tanah oleh Kementerian ESDM berdasarkan permintaan dari Gubernur. Namun pada kenyataannya PT. TFJ ini tidak melakukan prosedur administrasi perijinan yang tertib, PT. TFJ hanya melaksanakan permohonan ijin mendirikan bangunan dan usaha ke Pemerintah Kabupaten Pandeglang, tanpa ada ijin untuk pengalih fungsian air tanah ke Gubernur Pandeglang, ditambah lagi PT. TFJ tidak memiliki Analasis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dimana jika kita lihat pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki AMDAL tertera pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1), PT. TFJ hanya memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), yang dimana UKL & UPL yang dimiliki oleh PT. TFJ tidak pernah diperlihatkan kepada umum dan kondisi ini yang membuat masyrakat penduduk Baros-Cadasari menolak adanya pabrik minuman air kemasan tersebut.
"Saya jelas menyatakan sikap bahwa saya menolak adanya PT. TFJ, saya ngerasain dulu itu sebelum ada PT. TFJ tambak ikan yang dikelola warga panennya melimpah, sekarang mah susah, apalagi sumber airnya jadi kecil, udah gak kayak dulu lagi. PT. TFJ juga gak punya AMDAL, atuh sok unjukin ke kami gitu, ke warga kalo emang PT. TFJ punya UKL & UPL, ini mah enggak pernah diunjukin ke kami, pokoknya saya mah nolak keras adanya PT. TFJ." Ungkap seorang warga Kp. Muntur yang mengelola tambak ikan lele, Olih.
Selain itu, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pandeglang Nomor 3 tahun 2011 tentang rencana Tata Ruang Wilayah: Pasal 31 ayat (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 huruf b berupa kawasan resapan air dengan luas kurang lebih 86.219Ha, selanjutnya di Pasal 34 ayat (1) huruf b, ayat (3) huruf b, Pasal 35 ayat (1) huruf c dan ayat (4) huruf a, wilayah Cadasari termasuk kawasan lindung, dalam hal pengelolaan kawasan lindung diatur dengan keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kemudian pada Pasal 39 ayat (6) diterangkan bahwa Cadasari masuk dalam Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dimana pada pasal 62 ayat (4) huruf a angka 7 dijelaskan tidak diperbolehkan mengalihfungsikan lahan LP2B, kecuali untuk kepentingan umum atau terjadi akibat bencana alam.
"Jika berdirinya pabrik tersebut memicu banyak kerugian, misalkan pabrik tersebut mengganggu kehidupan warga sekitar dll, itu harus dikaji, sejauh mana mengganggunya pada lingkungan setempat, dan memang butuh elemen yang banyak seperti warga sekitar atau bahkan ahli air. Saya kira bisa di musyawarahkan, kan tugas utama pemerintah itu harus melindungi rakyat dan dalam melindungi rakyat, pemerintah juga harus memfasilitasi kepentingan rakyat, hingga sekarang tinggal dipadukan antara kepentingan rakyat dengan kepentingan perusahaan. Katakanlah pabrik minuman air kemasan ini untuk kepentingan rakyat, tinggal bagaimana dalam prosesnya ini jangan sampai mengganggu kepentingan hidup rakyat. Kalau sampai 110Ha lahan warga kekeringan, berarti kan ada alasan kalau pabrik air minum kemasan tersebut mengganggu, dan tentu pemerintah kabupaten setempat harus mengambil keputusan terkait pencabutan izin dsb." Jelas salah satu dosen Hukum Agraria, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Profesor Suparman.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa air harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kepentingan masyarakat luas, hal ini tertera pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat. Adanya aturan-aturan yang melindungi air di kawasan Baros-Cadasari ini lah yang memunculkan berbagai statement untuk menolak adanya pabrik air tersebut.
"Mayora ini kan berdiri dan mengeksploitasi air itu di dalam cekungan air tanah di kecamatan Baros & Cadasari, air yang di eksploitasi oleh Mayora ini berfungsi untuk mengairi rumah-rumah yang ada dilingkungan setempat, bahkan sampai ke Serang dan Tangerang. Belum lagi pada PerDa RTRW, disitukan termasuk zona Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, otomatis jika airnya di eksploitasi, di bor sama Mayora, eta sawah teu boga cai engkena, kan teu bisa panen masyrakatna. (itu sawah tidak punya air nantinya, kan gak bisa panen masyrakatnya.) Harusnya mahasiswa juga turut andil untuk mempertanggung jawabkan intelektualitasnya, karena kan mahasiwa yang lebih tau dari pada masyarakat soal aspek yuridis, mayora ini melanggar hukum, perijinannya cacat, tidak sesuai dengan 6 prinsip dasar konstitusi terkait pengelolaan air karena disitu akan merugikan masyarakat." Papar salah satu anggota dari Aliansi Tolak Privatisasi Air, Rijal Arthomi.
Kasus privatisasi ini jelas menuai banyak kontra, terutama dari warga yang langsung merasakan dampak dari adanya PT. TFJ, karena banyak kerugian yang dirasakan oleh warga sekitar, mulai dari kekeringan lahan sawah hingga berkurangnya sumber mata air warga yang biasa digunakan untuk keberlangsungan hidup warga. Hingga saat ini, kasus ini masih terus dikawal, baik dari Lembaga Bantuan Hukum pun mahasiswa yang tergabung dalam aliansi.